Thursday 19 February 2009

AlunPertemuan

Oleh: Mohd Yusuf Hasibuan

Teng..teng..teng.., begitulah yang sering terdengar dari lonceng gereja pada setiap hari Minggu yang membuat para jamaah semangat untuk beribadah. Nyanyian-nyanyian yang disenandungkan di setiap gereja, menggemakan suara pujian dan siraman rohani dari para pendeta. Namun, sudah menjadi kebiasaan bagiku dan adikku, Eva Posmawati, yang masih berumur 10 tahun, setelah pulang dari gereja pergi ke kebun binatang Rahmat Sah Galeri Medan, yang terletak 300 m dari rumah kami. Berbulan-bulan kami melakukan kebiasaan ini, hanya berdua ditengah kesibukan kedua orang tua kami yang asyik mengurus bisnis, dan mengelola gereja demi tercapainya target kristenisasi yang meluas. Adikku sangat senang bila kubawa ke kebun binatang, karena ia bisa bertemu dengan binatang yang ia cintai, yaitu gajah.
Suatu hari, di tengah panasnya terik mentari, kami menyeberangi jalan raya. Adikku melirik ke kanan sambil berlari karena melihat jualan es krim. Tak kusadari ternyata genggaman tanganku telah terlepas dari genggaman adikku. Pada saat itu, terjadilah kejadian yang tak ku inginkan. Adikku yang aku sayangi dilanggar kereta, sehingga ia mengalami pendarahan, bahkan pingsan tak sadarkan diri. Aku yang begitu kaget dan bingung langsung minta tolong agar dibawakan ke rumah sakit. Beruntung nyawa adikku masih dapat diselamatkan. Walau demikian, kemarahan kedua orang tuaku tetap saja tak reda-reda, hingga akhirnya mereka mengusirku dari rumah. Ayahku berkata: "Josep..! Kamu ini bagaimana sih? Dasar abangan yang tidak bertanggungjawab..! Kemana aja kamu sehingga ini bisa terjadi?" Aku yang begitu lugu hanya dapat diam membisu. Tak sepatah katapun yang terucap di hadapan ayah dan ibuku. Karena aku sangat merasa bersalah dan keliru. Kemudian ayahku mengangkat suaranya sambil berkata: "Pergi..! Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali!" Ibuku menangis tersedu-sedu karena khawatir berpisah denganku. Namun, apa boleh buat, ini semua kemauan ayahku. Ku langkahkan kakiku satu-persatu untuk menuju kehidupan baru.
Rasanya sulit bagiku untuk membuka lembaran baru dari kehidupan yang bahagia. Namun aku harus terus melangkah, mengikuti arus-arus kehidupan demi kelangsungan kehidupanku. Aku terus berjalan menorobos keheningan malam yang sunyi, hawa dingin yang menggigilkan, di tengah tidur nyenyaknya orang-orang, di tepi arus istirahat, di kegelapan yang meraba-raba. Aku terus berpikir dan berusaha mencari pekerjaan, hingga akhirnya aku diterima bekerja dibengkel Pak Khairul Saleh yang beragama Islam. Ia sering mengajakku ke mesjid untuk menunaikan shalat. Saat itu, aku tidak tahu-menahu tentang Islam. Bahkan dalam gerakan shalat, aku selalu melirik ke kanan dan ke kiri untuk bisa menirukan gerak-gerakan mereka. Hari demi hari kulakukan semua ini, membuat mereka, para jamaah heran dan bertanya: "Nak sebenarnya apa agamamu dan siapa orangtuamu?" "Agamaku Nasrani, ayahku Pak Mamora", jawabku. Ternyata mereka sangat mengenal ayahku dengan gerakan kristenisasinya. Hal ini membuat mereka marah kepadaku. Mereka sering mencaciku setiap aku pergi ke mesjid, terlebih ketika Pak Saleh menyuruh aku membersihkan mesjid.

Hari berganti hari, bulan pun silih berganti, cacian dan hinaan terus ku terima. Hatiku terasa perih sekali. Sehingga pernah terbersik dalam hatiku perkataan: "Awas kamu orang Islam. Aku akan memeluk Islam untuk membohongi kamu, merusak dan memurtadkan orang-orang Islam." Itulah tujuan utamaku. Betapa bahagianya, masyarakat sekitar, para tetangga Pak Khairul Saleh dengan keislamanku. Namaku pun diganti dari Josep menjadi Yusuf Abdullah. Bahkan ada diantara mereka yang siap membiayai kebutuhan hidup dan pendidikanku, sehingga aku dimasukkan ke pesantren salafi. Setelah dua tahun berada di pesantren, aku mulai beraksi untuk membohongi orang-orang Islam yang bodoh tentang agama. Misalnya dengan mengeluarkan argumen yang bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri, yaitu membolehkan shalat lima waktu dijamak kapan pun dan dimana pun, padahal hakikat yang sebenarnya shalat lima waktu tidaklah boleh dijamak sekehendak hati. 'Di belakang mereka', aku tertawa terbahak-bahak, karena dapat mempengaruhi sebagian mereka.
Namun, ketika aku telah memasuki tahun yang keempat di pesantren salafi tersebut, aku baru mengetahui sesuatu yang baru, melalui pelajaran Muqâranah al-Adyân (perbandingan agama). Semenjak itulah aku baru sadar, bahwasanya tuhan kami menjadi tuhan karena dilantik. Logikaku mengatakan bahwa tidak ada tuhan yang dilantik, kalau dilantik berarti dia sebatas

bersambung..................

No comments: